Rabu, 20 Mei 2009

Gaya Hidup Sehat Dengan Bertapa dan Semedi

Tapa bukanlah istilah yang sama sekali asing bagi bangsa kita. Banyak mithologi
dan sejarah menggunakan istilah ini. Bahkan dalam sejarah tradisional Bali
disebutkan keberadaan seorang raja Bali yang digelari Sri Tapolung, Raja Tapa
Ulung alias Bedahulu, yang tidak tunduk pada kekuasaan Majapahit, digambarkan
sangat sakti. Para Patihnya pun sakti mandraguna. Untuk menundukkannya saja,
Majapahit diharuskan mengirim satu armada besar dengan banyak senopati (Arya)
serta dipimpin oleh dua orang panglima perang besar dan tangguh dari Majapahit
-- Gajahmada dan Nararya Damar.

The Divine Life Society menterjemahkan Tapa dengan 'austerity'. Dalam konteks
ini, ia dapat diartikan sebagai pola hidup disiplin, penuh pengendalian-diri,
pengekangan hawa-nafsu, kecermatan dan kewaspadaan. Ia juga merupakan praktek
penggemblengan-diri guna memperoleh ketahanan fisik dan mental, kehidupan
spiritual guna mensucikan diri, kehidupan yang dijalani oleh para orang-orang
suci.

Brata sendiri diartikan sebagai taat pada sumpah mental dan spiritual. Baik
dalam Tapa maupun Brata tersirat adanya 'tekad yang kuat' untuk menjalankan apa
yang dipandang benar dan mengantarkan pada kebenaran itu sendiri. Dalam
prakteknya, Tapa tak dapat dipisahkan pelaksanaannya dengan Brata; oleh
karenanyalah mereka lebih sering digunakan dalam satu rangkaian kata bentukan,
Tapa-Brata. Istilah Tapa-Brata akan teramat sering kita temui dalam kisah-kisah
mithologis Hindu, budaya spiritual India, Nusantara maupun wilayah-wilayah yang
menganut budaya spiritual yang berasal dari India.

"Inilah Brata bagi Sang Brahmana, dua belas banyaknya yaitu: dharma, satya,
tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajña, dana, dhrti dan ksama.
Dharma bersumber pada sifat sattvam. Satya artinya jujur dan setia pada
kebenaran. Tapa yakni disiplin mengendalikan jasmani dan mengekang hawa-nafsu.
Dama artinya keinsyafan, bisa menasehati diri-sendiri. Wimatsaritwa artinya
tidak bersifat iri dan dengki. Hrih artinya malu untuk berbuat salah atau
tak-senonoh. Titiksa artinya mengendalikan-diri untuk tidak sampai marah besar.
Anasuya artinya tidak berbuat dosa. Yajña berarti senantiasa melaksanakan korban
suci. Dana artinya berdana-punia. Dhrti artinya tekun melaksanakan penenangan
dan pensucian pikiran. Ksama artinya tahan cobaan dan suka memaafkan. Semua
itulah Brata bagi Sang Brahmana." (Sarasamušchaya: 63)

Dalam pustaka suci ini, Tapa tampak dimasukkan sebagai salah-satu item
pelaksanaan Brata. Jadi, ia dapat dikatakan sebagai suatu paket praktek
spiritual (sadhana). Melakoni Tapa-Brata dipandang sebagai satu prasyarat mutlak
dalam upaya penggalangan kesucian batin. Para bijak dan orang-orang suci mampu
memberi berkah karena ketekunan beliau dalam melaksanakan Tapa-Brata. Hal ini
terungkap jelas pada sloka Manawa Dharmaçastra berikut.

"Persembahan yang dihaturkan kepada bijaksanawan (viprah) yang tinggi
pengetahuan sucinya dan yang tekun dalam melaksanakan Tapa-Brata, memberi berkah
keselamatan dari kesialan kecil maupun kesialan besar." (MDs. III: 98)

PELAKSANAAN TAPA-BRATA DAN MEMPELAJARI WEDA, DUA PRILAKU BERAGAMA UTAMA BAGI
UMAT HINDU

"Seorang Dwijati yang telah disucikan dengan cara-cara yang sesuai, secara
bertahap melaksanakan Tapa-Brata, yang telah ditetapkan bagi mereka yang
mempelajari Weda. Seorang Arya harus mempelajari seluruh Weda beserta
Upanishad-upanishadnya, sekaligus melakukan bermacam-macam Tapa-Brata serta
mengindahkan pantangan-pantangan yang ditetapkan dalam Weda. Hendaknya, seorang
Brahmana yang hendak melaksanakan Tapa-Brata, selalu mengulangi ajaran Weda,
karena menurut para bijaksanawan, mempelajari ajaran Weda merupakan Tapa-Brata
tertinggi di dunia ini. Sesungguhnyalah, Dwijati melakukan Tapa-Brata tertinggi
jika ia setiap hari mengucarkan Weda di tempat sunyi dengan bersungguh-sungguh
dan mengerahkan segenap kemampuannya, walaupun ia memakai bunga sampai ke ujung
kaki." (MDs. II: 164, 165, 166 dan 167)

Dwijati artinya telah terlahir untuk kedua kalinya, yakni: pertama terlahir dari
rahim ibunya dan berikutnya terlahir dalam dunia ilmu pengetahuan, dikuti dengan
segala upacara yang terkait sejak ia dalam kandungan (sangaskara), sesuai dengan
yang tersurat dalam Weda-weda. Menurut Manawa Dharmaçastra, golongan Triwangsa
(Brahmana, Ksatria dan Wesya) adalah mereka yang Dwijati, sedangkan kaum Sudra
masih Ekajati. Hanya para Dwijati yang "diwajibkan" untuk mempelajari Weda-weda.
Manusia dari ke-empat Warna inilah yang membentuk peradaban Arya, yang diartikan
sebagai orang-orang baik yang berkebajikan tinggi, menurut ajaran Hindu. Dalam
hal ini, para Pendeta atau Sulinggih dapat disebut sebagai Trijati (bukan
istilah yang lumrah), telah terlahir untuk ketiga kalinya di dunia
spiritual-religius Hindu. Selain ke-empat Warna ini, Hindu tidak mengenal
golongan kelima (dan seterusnya) dalam struktur kemasyarakatannya. Ini
ditegaskan kembali pada sloka 61 dari pustaka suci Sarasamušchaya.

'...mengucarkan Weda di tempat sunyi dengan bersungguh-sungguh dan mengerahkan
segenap kemampuannya', seperti yang diungkapkan dalam sloka di atas tiada lain
adalah praktek sadhana dari Mantra Yoga. Disini tampak jelas bahwasanya
Tapa-Brata merupakan fondasi yang kokoh bagi tahapan selanjutnya, Yoga-Samadhi.
Sesungguhnyalah, Tapa-Brata-Yoga-Samadhi adalah jalan utama yang disodorkan oleh
Hindu dalam rangka mencapai tujuan akhir, yakni Moksha.

'.....walaupun ia memakai bunga sampai ke ujung kaki.'; yang dimaksudkan dalam
kiasan ini adalah: walaupun Dwijati tersebut masih bergelimang kemuliaan
duniawi, namun beliau tiada terikat kepadanya. Banyak contoh-contoh dalam Purana
dan Itihasa yang menceritrakan paradigma ini. Raja Janaka --ayahanda Dewi Sita--
adalah salah-satu contoh dari seorang Muni besar, sementara beliau tetap
menjabat raja yang arif. Krishna sendiri juga seorang raja, demikian pula
Yudhisthira; mereka adalah para Maharaja yang berbatin suci.

TAPA-BRATA ~ MENGHANTARKAN MENUJU JAGAT HITA DAN MOKSHA

"Obat-obatan, kesehatan yang prima, berbagai sifat kedewataan, dapat dicapai
hanya melalui kesucian Tapa; oleh karena sesungguhnya Tapa-lah jalan untuk
mencapainya." (MDs. XI: 238)

Berapa banyakpun kita telah berhasil mengumpulkan harta benda duniawi, namun
bila tubuh ini sakit-sakitan, semua itu tidak mendatangkan kebahagiaan
sejenakpun. Kesehatan yang prima menjadi salah-satu pilar utama penopang
kebahagiaan hidup di dunia ini (jagat hita). Dan itu dapat diberikan oleh
pelaksanaan Tapa-Brata dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Hakekat kedewataan
manusia menjadi semakin samar dan redup cahayanya oleh liputan kenafsuan (kama),
keserakahan (lobha), kemabukan dan kebingungan (moha), belenggu keterikatan
(trsna), kebodohan (avidya) dan egoisme (ahamkara)-nya sendiri. Pengendalian,
penahanan dan pengekangan-diri adalah bahagian-bahagiaan pokok dari pelaksanaan
Tapa-Brata, yang secara pasti membangkitkan kembali cahaya luhur kedewataan
(daivisampat) yang telah terbenam sekian lama. Dari sloka di atas, kita tak
hanya diberi penegasan akan peran penting yang dimainkan Tapa bagi pencapaian
jagathitam, akan tetapi juga sebagai upaya terarah menuju sifat-sifat luhur
kedewataan itu sendiri.

Bukan hanya itu, lebih jauh lagi mereka yang mensucikan dirinya melalui
Tapa-Brata juga dapat memperoleh kesiddhian, bahkan mencapai kebahagiaan abadi,
'suka tanpa wali duka' atau 'anandam' dan 'kelepasan' dalam kelahiran ini juga.
Ini dinyatakan oleh tiga sloka berikut.

"Dengan menguncarkan Weda setiap hari, dengan mematuhi peraturan-peraturan
kesucian, dengan melakukan Tapa-Brata dan tiada menyakiti makhluk lain,
seseorang bisa memiliki kemampuan untuk 'mengingat masa-masa kehidupannya yang
terdahulu'. Ia yang demikian, bila terus menguncarkan Weda, akan menikmati
'kebahagiaan abadi'." (MDs. IV: 148 dan 149).
"Dengan tidak menyakiti makhluk lain, dengan memutuskan ikatan terhadap objek
kenikmatan indriya, dengan upacara seperti yang ditetapkan dalam pustaka suci
Weda serta dengan latihan berat Tapa-Brata, manusia dapat mencapai tingkat
tertinggi (jivanmukta) dalam kelahiran ini juga." (MDs. VI: 75)

Mereka yang telah sadar akan kepapaannya serta memahami hakekat dirinya yang
Sejati, akan tiada bosan-bosannya untuk berupaya guna meraih kembali
Kesujatiannya. Tapa menyediakan jalannya. "Melalui pengakuan, penyesalan atau
pertobatan, pensucian dengan Tapa dan mengucapkan mantra-mantra Weda, yang
berdosa akan bebas dari kesalahannya; apabila semua itu tiada mungkin
dilaksanakan, maka dapat pula dilakukan dengan berdana-punia." (MDs. XI: 228)

Penebusan substitutif melalui dana-punia --pemberian dengan tulus-ikhlas--
sangat dianjurkan dalam Hindu. Dana-punia juga disebut-sebut sebagai kewajiban
utama bagi manusia dalam Upanishad. Pustaka-pustaka suci menyebutkan bahwasanya
dana-punia berupa 'pengetahuan suci' (jnana) adalah dana-punia yang tertinggi
yang bisa dihaturkan manusia. Namun diingatkan pula bahwa, sama halnya dengan
Yajña, ia mesti didasari ketulusan yang tanpa pamerih. Ketulusan inilah yang
mensucikan semua bentuk korban yang kita haturkan, hingga layak disebut 'korban
suci' (Yajña).

Kita sadar bahwa kecerobohan adalah salah-satu dari indikasi keterbatasan kita.
Secara sengaja mungkin kita tak hendak berbuat salah, ataupun melakukan
pelanggaran; akan tetapi tiada kita pungkiri juga bahwa (mungkin) banyak
kesalahan dan pelanggaran yang telah kita lakukan tanpa disengaja. Lantas, apa
yang dapat kita lakukan untuk itu? Nah....masalah inilah yang kita temukan
pemecahannya dalam paparan sloka-sloka berikut.

"Ia yang berkeinginan bebas dari semua kesalahannya, setelah melakukan
pelanggaran, baik secara sengaja maupun tanpa sengaja, hendaknya tiada
mengulangi perbuatan tersebut untuk kedua kalinya. Kalau pikirannya menjadi
gelisah karena suatu perbuatan salah, hendaknya ia melakukan Tapa seperti yang
diwajibkan sampai merasa tenang dan pulih kesadarannya. Dinyatakan oleh para
Maharshi bijaksana penerima wahyu Weda bahwa, semua rakhmat dari para Dewa dan
manusia berawal pada kesucian Tapa; karena kesuciannya ada di tengahnya maupun
di bagian akhirnya." (MDs. XI: 233, 234 dan 235)

BAGAIMANA TAPA DILAKSANAKAN?

"Mengejar pengetahuan suci adalah Tapa bagi para Brahmana, melindungi rakyat
adalah Tapa dari kaum Ksatrya, melaksanakan kewajiban berusaha adalah Tapa bagi
Wesya dan mengabdi adalah Tapanya kaum Sudra." (MDs. XI: 236)

Dari sloka ini, kita ketahui bahwasanya ternyata bagi masing-masing warna punya
bentuk Tapanya sendiri-sendiri. Melalui Tapa masing-masing inilah, semua manusia
Hindu memiliki kesempatan yang sama besarnya dalam berupaya mensucikan-diri
secara lahir-batin. Perlu kiranya diingatkan kembali bahwa dalam konteks ini,
warna yang dimaksud hendaknya tidak dipandang berdasarkan pengertian sempit
--garis keturunan, soroh ataupun warga; akan tetapi sebagai kecenderungan atau
minat dasar yang dominan pengaruhnya dalam membentuk bakat dan karakter bawaan
seorang anak manusia. Semua itu dibawa dari kelahirannya yang lampau, demikian
doktrin Karma Phala dan Samsara mengajari kita.

Nah....secara kontekstual, di dalam semua bahagian tulisan ini, hendaklah kita
memandangnya seperti itu; yang pasti bukan sebagai 'kasta'. Jadi, sesungguhnya
tiada diskriminasi dalam meraih tujuan akhir dalam Hindu. Caranyalah yang
berbeda, disesuaikan dengan minat, bakat, serta sifat-sifat atau kecenderungan
bawaan masing-masing. Dan bagusnya adalah, semua disediakan jalan yang paling
sesuai untuknya. Peluang pencapaian tujuan antara maupun tujuan akhir terbuka
lebar bagi semua manusia Hindu, tanpa kecuali.

"Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-buahan,
umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu dengan makhluk bergerak
maupun tidak bergerak, hanya melalui kesucian Tapa." (MDs. XI: 237)

Dari sloka yang satu ini kita ketahui jenis makanan (diet) Sattvik yang
menunjang keberhasilan seorang Yogi. Yang pasti, jenis makanan tersebut adalah
jenis makanan vegetaris. Sementara, para akhli kesehatan dan psikolog modern
juga telah menemukan keterkaitan erat antara makanan dengan ketenangan dan
kesehatan mental, pada umumnya, walaupun tidak dapat dipandang sebagai suatu
kemutlakan, maka para orang-orang suci dan Yogi purbakala, malah telah
memanfaatkan pengetahuan tersebut bagi penyempurnaan dan pensucian jiwanya.

Terkait dengan makanan dan minuman, disamping jenis, waktu atau frekwensi,
jumlah dan pola makan secara keseluruhan juga amat menentukan dalam praktek
spiritual. Ada yang menganjurkan jenis makanan sattvik bagi para penekun jalan
spiritual, dan ada juga yang hanya mengkonsumsi jenis makanan vegetaris saja.
Namun, pada prinsipnya, yang perlu dipegang teguh dalam hal ini adalah: 'Makanan
maupun minuman tidak semata-mata dimaksudkan untuk memuaskan indriya pengecap
(lidah), namun lebih pada penunjang kesehatan lahiriah maupun kestabilan
batiniah'. Ini akan banyak menunjang dalam peningkatan spiritualitas dan
pengembangan batin seorang penekun praktek spiritual.

PARA DEWA-PUN BERTAPA

Para Dewa dengan segala kecemerlangan sifat-sifat kedewataannya diperoleh
sebagai anugerah dari pelaksanaan Tapa-Brata. Semesta raya juga diciptakan
melalui Tapa Hyang Widhi, demikian disebutkan dalam Weda-weda, juga dalam Manawa
Dharmaçastra.

"Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai, apapun yang
sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk dilakukan, semuanya dapat dicapai
dengan kesucian Tapa, karena Tapa mempunyai kekuatan untuk melampauinya.

Mereka yang telah melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat
dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat, kumbang, burung dan
makhluk lainnya, berhenti bergerak dan mencapai surga hanya karena Tapanya.
Apapun dosa-dosa yang telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya,
perkataannya ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan dengan
segera melalui Tapanya yang teguh, waspada bak hartawan menjaga kekayaannya.

Para Dewa-Dewa menerima setiap persembahan para Brahmana, yang telah disucikan
oleh Tapanya, akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang Maha
Kuasa, Prajapati, menciptakan lembaga suci itu melalui Tapa-Nya; demikian pula
halnya dengan para Rshi, menerima wahyu Weda karena Tapa mereka. Para Dewa-Dewa
melalui Tapanya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan dari Tapa."
(MDs. XI: 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245)

Jadi, keutamaan dan keagungan Tapa-Brata seperti yang diajarkan dalam Hindu
melalui Weda-Weda, tidaklah perlu diragukan lagi. Bagi kita, hanya keberanian
dan kesiapan mental-lah yang dibutuhkan untuk melakoninya. Itu saja. Betapapun
luhurnya suatu ajaran, ia tetap hanya berupa slogan, semboyan dan angan-angan
kosong saja bagi kita, tanpa dilakoni. Semua itu sepenuhnya dipulangkan kembali
kepada kita.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.
Semoga Kebahagiaan dan Kedamaian senantiasa menghuni kalbu semua insan.


Denpasar, 27 Juli 2000.

Shanti Citta,

Tertawa Itu Sehat
Studi di Maryland Medical Center, Baltimore, mengungkapkan, bahwa ketawa mencegah serangan jantung. Duaperlima pasien jantung rata-rata ternyata kurang begitu doyan ketawa. Padahal tertawa menghapus stres mental. Stres mental yang dipelihara juga ikut merusak lapisan dinding pembuluh darah yang mengawali terbentuknya ”karat lemak”. Lapisan karat ini yang kemudian menjadi penyebab jantung koroner, kalau bukan stroke (Dr. Michael Miller, Direktur Pencegahan Jantung Universitas Maryland). ketawa meningkatkan produksi endorphine, sejenis morphine yang diproduksi oleh tubuh,, Endorphine mengendurkan rasa perih-pedih fisik dan batin. Selain itu dengan ketawa terpingkal-pingkal, paru-paru dan jantung pun terpacu, sehingga napas dan nadi melaju lebih kencang. Alhasil,,, darah di dalam tubuh lebih deras mengalir. Lebih jauh,,,, ketawa juga penting bagi orang dengan kepribadian Tipe H, yaitu mereka yang punya hobi mengekang amarah,,,, ketawa dan marah tak mungkin muncul berbarengan,,, maka sebelum terlanjur marah, bikinlah ketawa dulu,,, tapi caranya bukan dengan dikitiki.:)

Bisnis Sehat dengan dollar

teliad - the marketplace for text links Join Vinefire!

Moeslem Adsense